TATA CARA JUAL BELI TANAH DAN BALIK NAMA SERTIPIKAT
“ Saya mempunyai tanah yang sudah bersertipikat, karena ingin menambah modal mengembangkan usaha. Saya berniat menjual tanah tersebut dan saya sudah mendapatkan seseorang yang akan membeli tanah saya. Apa yang harus saya dan calon pembeli lakukan ¿”
Apabila sudah terdapat kesepakatan mengenai harga tanah antara penjual dan calon pembeli, selanjutnya penjual dan calon pembeli datang ke kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang akan dijual untuk membuat akta jual beli tanah.
“Siapakah Pejabat Pembuat Akta Tanah itu ¿ “
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu, yaitu Akta Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan ke Dalam Perusahaan, Pembagian Hak Bersama, Pemberian Hak Tanggungan, Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik dan pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. “Didaerah tertentu kebanyakan orang yang akan membuat akta jual beli tanah datang ke kecamatan. Apakah Camat sama dengan PPAT? “
Untuk daerah-daerah yang belum cukup jumlah PPAT-nya, Camat dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara, dan untuk desa yang sangat terpencil, Kepala Desa dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Keputusan Penunjukkan Camat sebagai PPAT Sementara tersebut ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah setempat atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, jadi hanya Camat untuk daerah tertentu yang belum cukup PPAT-nya atau lurah/kades untuk daerah terpencil yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara yang dapat membuat Akta PPAT.
“Persyaratan apa saja yang diperlukan untuk membuat akta jual beli tanah di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah?”
Anda harus membawa : sertipikat tanah asli dari tanah yang akan dijual, KTP, bukti pembayaran PBB (Pajak Bumi & Bangunan), surat persetujuan suami/istri bagi yang sudah berkeluarga, dan kartu keluarga.
Calon pembeli membawa : KTP dan kartu keluarga
“Bagaimana proses pembuatan akta jual beli di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah?”
A. Persiapan pembuatan akta jual beli
1. Sebelum membuat akta jual beli, PPAT melakukan pemeriksaan mengenai kesesuaian sertipikat dengan data-data yang ada di Kantor Pertanahan.
2. Penjual harus membayar Pajak Penghasilan (PPH) sebesar 5% dari harga jual apabila harga jual beli tanah diatas Rp.60.000.000,-
3. Pembeli harus membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari nilai perolehan obyek pajak kena pajak. Nilai perolehan obyek pajak kena pajak adalah nilai perolehan obyek pajak dikurangi nilai perolehan obyek pajak tidak kena pajak yang ditetapkan secara regional (masing2 Kabupaen/Kota) paling banyak Rp.60 juta.
4. Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dapat dibayarkan di bank atau kantor pos. Sebelum Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dilunasi akta belum dapat ditandatangani.
5. Calon pembeli harus membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum dan tanah absentee (guntai).
6. Pihak penjual membuat pernyataan bahwa tanah yang dimiliki tersebut tidak dalam sengketa.
7. Pejabat Pembuat akta tanah menjelaskan maksud dan isi pernyataan diatas.
8. PPAT wajib menolak pembuatan akta jual beli apabila:
o Tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa, perkara atau disita oleh pengadilan.
o Kepada PPAT tidak diserahkan sertipikat asli atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar yang ada di kantor pertanahan.
o Salah satu atau para pihak yang akan melakukan jual beli tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk melakukan jual beli.
o Salah satu pihak bertindak atas dasar kuasa mutlak yang ada pada hakikatnya berisi perbuatan hukum memindahkan hak.
o Belum diperoleh ijin dari pejabat yang berwenang.
B. Pembuatan Akta Jual Beli
1. Pembuatan akta harus dihadiri oleh pihak penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
2. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekuarang2nya dua saksi
3. PPAT wajib membacakan akta serta menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, serta prosedur pendaftaran tanah yang harus dilaksanakan.
4. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan pejabat pembuat akta tanah, setelah dilunasi pajak penghasilan dan BPHTB.
5. Akta dibuat asli dalam 2 lembar, lembar pertama disimpan di kantor PPAT dan lembar kedua disampaikan ke kantor pertanahan untuk keperluan pendaftaran (balik nama).
6. Kepada penjual dan pembeli diberikan masing2 salinannya.
“ Berapa biaya yang harus dibayar untuk membuat akta jual beli ¿ “
Besarnya biaya pembuatan akta tidak boleh melebihi 1% dari harga transaksi yang tercantum didalam akta.
“Bagaimanakah langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan akta jual beli?”
A. Setelah selesai pembuatan akta jual beli, PPAT kemudian menyerahkan akta jual beli dan dokumen lain yang diperlukan ke kantor pertanahan untuk keperluan balik nama sertipikat.
B. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut.
C. Berkas atau dokumen yang diserahkan terdiri dari surat permohonan pendaftaran balik nama, surat kuasa tertulis (apabila balik nama diajukan bukan oleh pembeli), akta jual beli PPAT, sertipikat hak atas tanah, fotokopi KTP pembeli dan penjual, ijin pemindahan hak dari pejabat yang berwenang (apabila diperlukan), bukti pelunasan pembayaran pajak penghasilan (PPH), bukti pelunasan BPHTB.
”Bagaimana prosesnya di Kantor Pertanahan? ”
1. Setelah berkas disampaikan ke kantor pertanahan, kantor pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada pemohon ata kuasanya.
2. Nama pemegang hak lama (penjual) didalam buku tanah dan sertipikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
3. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
4. Pendaftaran balik nama sertipikat dikenakan biaya Rp.25.000,- , apabila tidak ada perubahan batas bidang tanah yang bersangkutan
Sumur lagi :
http://www.kaskus.co.id/thread/54292854de2cf2fb638b456b/?ref=homelanding&med=hot_thread
Welcome a board
Thanks for visit to our blog, this blog will present to my small family, my hobbie, my carier and my yearly gadget and a couple in collection.. severeal Documentation of my life interest.
Welcome a Board
............. ........
Welcome a Board
............. ........
Sunday, June 29, 2014
Sunday, June 22, 2014
Budaya VS Klenik
Dalam artikel yang saya bahas yakni mengenai sistem angka pada rumpun Awyu di Papua. Artikel tersebut menyajikan materi tentang sistem bilangan dari Kombai, Korowai, Wambon, Mandobo, Aghu, Sjiagha-Yenimu, dan Pisa, tujuh bahasa Papua dari keluarga Awyu di selatan Irian Jaya, Indonesia. Bagaimana mereka menamai masing-masing angka dan memperagakan setiap bilangan karena antara satu tempat dengan tempat lain memiliki perbedaan.
Dalam hal ini, saya akan mengambil contoh dari masyarakat Sunda. Namun saya tidak akan membahas mengenai penamaan setiap bilangan dan bagaimana orang Sunda menyebut suatu bilangan melainkan sistem perhitungan yang biasa orang Sunda gunakan untuk menentukan hari baik dalam setiap melakukan sesuatu. Narasumber untuk informasi ini saya dapatkan dari kakek saya sendiri yakni H. Ma’mun. Beliau hingga saat ini masih menggunakan sistem perhitungan dalam melakukan segala sesuatu terutama yang menyangkut dengan hajat hidup keluarganya. Menurutnya, ada banyak sistem perhitungan yang digunakan oleh orang Sunda, sistem tersebut diadopsi dari orang kepercayaan orang Jawa, India, Budha dan Islam. Namun yang masih digunakan oleh beliau hingga saat ini adalah sistem yang berdasarkan perhitungan orang Islam, pengetahuan ini ia dapat dari guru spiritualnya atau yang biasa ia sebut Ajengan. Beliau biasa menggunakan hitungan hari yakni dengan:
Bismillah, yang berarti bahwa ini adalah ucapan pembuka dari segala tindakan yang akan dilakukan.
Alhamdullilah, yang berarti ucapan rasa syukur atas kebahagiaan.
Astagfirullah, yang berarti ucapan ketika sedang terkena musibah.
Dari ketiga hitungan tadi, hari baik itu ada pada hitungan pertama dan kedua, sedangkan hitungan ketiga patut dihindari. Misalnya, ketika A dan B akan menikah pada tanggal 5, untuk menentukan baik atau tidaknya tanggal tersebut maka dihitung:
Tanggal 1 = bismillah
Tanggal 2 = alhamdulilah
Tanggal 3 = astagfirullah
Tanggal 4 = bismillah
Tanggal 5 = alhamdulilah, dan seterusnya.
Jadi tanggal 5 ini merupakan hari baik untuk menikah, namun jika jatuh pada hitungan astagfirullah maka diharapkan untuk diundurkan atau dimajukan tanggal pernikahannya. Ada juga yang menggunakan lima urutan dalam perhitungan ini. namun menurut Haji Ma’mun bahwa hitungan ini merupakan perhitungan “buhun” atau perhitungan orang tua zaman dahulu, diantaranya:
Sri
Lungguh
Dunya
Lara
Pati
Arti dari lima urutan tersebut diantaranya :
Sri, kata sri menempati bilangan satu, sri sering juga dikaitkan dengan dewi padi dalam budaya sunda, yaitu Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Jadi dapat pula dimaknai dengan banyaknya pangan yang kita dapat. Sri bermakna baik dalam hitungan ini, dapat pula diartikan rezeki yang melimpah.
Lungguh, kata lungguh menempati bilangan dua, lungguh sering dikaitkan dengan derajat, pangkat, jabatan, kekuatan, dan kemampuan. Lungguh bermakna baik dalam hitungan ini.
Dunya, kata dunya menempati bilangan tiga, dunya sering dikaitkan dengan harta, rezeki, materi, dan kekayaan yang melimpah ruah. Hitungan ini biasanya paling dicari dalam setiap hajat atau suatu hal yang membutuhkan perhitungan.
Lara, kata lara menempati bilangan empat, lara sering dikaitkan dengan sesuatu penderitaan atau sakit, baik dari segi kesehatan, ketenangan lahir atau pun batin. Hitungan ini biasanya dihindari dalam setiap hajat atau suatu hal yang membutuhkan perhitungan.
Pati, kata pati menempati bilangan lima, bilangan akhir dalam perhitungan ini. pati berarti mati. Namun tidak dengan serta merta kita mengaitkannya dengan kematian. mati disini dapat berarti mati secara rezeki, mati dalam arti perceraian, mati dalam arti hal-hal yang bersifat paling buruk. Hitungan ini biasanya paling dihindari dalam setiap hajat atau suatu hal yang membutuhkan perhitungan.
Kita harus dapat membuat rumusan perhitungan untuk mencapai hasil perhitungan diatas. Misalnya, kita akan mempunyai hajat untuk berpindah tempat tinggal atau rumah tanggal 12 Safar. Jadi kita tinggal membagi 12 (tanggal) dengan 5 (lima urutan tadi) yaitu 2 dengan sisanya 2. Angka dua menempati hitungan lungguh.
Hal penting yang perlu diingat adalah hitungan hari baik ini hanya berlaku pada hitungan hijriah, tidak pada masehi. Memang ada beberapa hal yang menjadi kekhususan pula, seperti ketika akan melaksanakan hajatan pernikahan, kita harus mengambil bilangan genap. sebaliknya ketika kita akan melaksanakan hajatan khitanan, kita harus mengambil bilangan ganjil.
Sistem perhitungan diatas merupakan salah satu perhitungan Kala Sunda. Dalam sewindu ada tiga tahun kabisat (taun panjang), sehingga jumlah hari dalam satu windu (delapan tahun) adalah (354 x 8) + 3 = 2835 hari, angka yang habis dibagi 35 (7 x 5). Itulah sebabnya setiap awal windu (indung poé) selalu jatuh pada hari dan pasaran yang sama. Jika misalnya awal windu jatuh pada Ahad Manis, maka awal windu selanjutnya pasti Ahad Manis juga (Drs. H. Irfan Anshory, Kala Sunda 1945-1953).
Menurut H.Ma’mun setiap tahun dalam sewindu memiliki nama, yang diantaranya :
1945 = Kebo (Indung poe)
1946 = Monyet (taun panjang)
1947 = Hurang
1948 = Kalabang
1949 = Embe (taun panjang)
1950 = Keuyeup
1951 = Cacing
1952 =Hurang
1953 = Kebo (balik ka indung poe)
Dalam artikel yang ditulis oleh Drs. H. Irfan Anshory tentang Kala Sunda disebutkan bahwa tahun baru (pabaru) Kala Sunda untuk satu windu mendatang adalah sebagai berikut:
1945 Kebo = Sabtu 6 Desember 2008
1946 Monyét = Rabu 25 November 2009
1947 Hurang = Senin 15 November 2010
1948 Kalabang = Jumat 4 November 2011
1949 Embé = Selasa 23 Oktober 2012
1950 Keuyeup = Ahad 13 Oktober 2013
1951 Cacing = Kamis 2 Oktober 2014
1952 Hurang = Senin 21 September 2015
Haji Ma’mun juga menyebutkan bahwa ada larangan bulan yang terjadi tiap tiga bulan sekali, seperti :
Syawal, Hapit, Rayagung larangannya terletak pada hari jumat
Muharam, Safar, Maulud larangannya di hari sabtu dan minggu
Silih maulud, Jumadil awal, Jumadil akhir larangannya di hari selasa
Rajab, Rewah, Puasa larangannya di hari rabu.
Namun larangan ini bersifat relatif karena jika perhitungan hari baiknya jatuh pada larangan diatas maka tidak apa-apa, masih tetap sesuai dengan hitungan sebelumnya.
Sebenarnya masih banyak lagi sistem perhitungan yang biasa digunakan oleh masyarakat Sunda, namun disini saya hanya membatasi sesuai dengan informasi yang diberikan oleh informan. Namun pada intinya pengetahuan mereka sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan. Jika orang tua dulu masih dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha dengan adanya kalender Saka, maka saat ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan Islam dan Kejawen. Tetapi pada intinya dari sejak dulu hingga kini sistem perhitungan ini bertujuan untuk menjaga diri dari berbagai musibah.
Menurut saya contoh diatas cukup relevan jika dikaitkan dengan artikel yang saya bahas. Baik dari segi penyebaran sistem pengetahuan maupun penggunaan sistem yang berbeda-beda satu sama lain. Dari segi penyebaran sistem pengetahuannya sama-sama dipengaruhi oleh kepercayaan. Misalnya dalam artikel, penamaan terhadap sistem angka banyak dipengaruhi oleh misionaris Katolik yang datang ke Papua, sedangkan dalam contoh perhitungan orang Sunda dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha, Kejawen dan Islam. Lalu dari sisi penggunaannya, dalam artikel walaupun ketujuh suku ini masih satu keluarga Awyu namun penggunaan istilah angkanya berbeda satu sama lain. Sama halnya dengan contoh pada masyarakat Sunda, antara satu keluarga dengan keluarga lain bisa saja memiliki sistem perhitungan yang berbeda sesuai dengan kepercayaannya. Jadi semoga contoh ini dapat memberikan pengetahuan bagi kita semua terhadap sistem perhitungan di Indonesia.
Sumber Data :
Wawancara dengan H. Ma’mun sebagai pengguna perhitungan Sunda
Anshory, Irfan. 2009. Kala Sunda 1945-1953. http://irfananshory.blogspot.com/2009/04/kala-sunda-1945-1953.html
Sumedang Sakti. 2010. Belajar Itungan Sunda Dasar I. http://sahadatsunda.blogspot.com/2010/01/belajar-itungan-sunda-dasar-1.html
Subscribe to:
Posts (Atom)